• Kesra

SK Menteri Yasonna, Napi Bebas, dan Kejahatan Seksual

| Rabu, 13/05/2020 15:19 WIB
SK Menteri Yasonna, Napi Bebas, dan Kejahatan Seksual Ilustrasi penjara (Foto : Jurnas/doknet)

Beritakaltara.com - Hasil diskusi Infid Webinar Series Perempuan dan Covid-19 ini menyimpulkan, dibebaskannya para narapidana, selain berdampak positif pada upaya pencegahan penyebaran COVID-19, tentunya juga mempunyai dampak negatif bagi masyarakat.

Kelompok masyarakat yang paling terdampak adalah korban kekerasan seksual. Pasalnya korban kekerasan seksual lekat dengan trauma psikologis jangka panjang.

Ketika narapidana kasus kekerasan seksual dibebaskan sebelum masa hukumannya selesai, maka akan memperburuk kondisi psikologis yang dialami korban, terlebih sebagian besar pelaku adalah orang terdekat korban.

Perlu diketahui, Menteri Yosanna mengeluarkan SK Menteri Nomor 10 tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19.

Sejak aturan ini diberlakukan sudah ada 38.822 narapidana yang dibebaskan dan hingga 21 April 2020, sudah ada 27 orang yang kembali melakukan kejahatan, salah satunya adalah kekerasan seksual.

Siti Mazuma, Direktur LBH APIK Jakarta menyatakan bahwa pembebasan narapidana kekerasan seksual harus dibarengi dengan upaya pemulihan korban.

"Hingga saat ini banyak korban kekerasan seksual tidak mendapat akses pemulihan, karena belum ada payung hukum yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual," ujar Zuma.

Zuma menjelaskan dengan merujuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, bahwa pemulihan yang dimaksud adalah pemulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya, serta restitusi.

Lebih lanjut Zuma menyampaikan pernyataan salah satu ibu korban yang memperjuangkan keadilan hukum bagi putrinya yang diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri. 

Menurut Zuma, butuh waktu lebih dari satu tahun untuk bisa memenjarakan pelaku kasus incest ini. Sementara korban yang tak lain adalah anak kandungnya, harus menanggung beban psikologis.

"Korban mengharuskannya mengkonsumsi obat dan melakukan konsultasi psikiater hingga hari ini. Sehingga pembebasan pelaku kekerasan seksual di masa pandemi menjadi kebijakan yang kurang tepat," ujar Zuma.

Kemudian Maidina Rahmawati dari Institute for Criminal Justice Reform (IJRS) menyatakan jika mengacu pada rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kategori narapidana yang mendapat percepatan pembebasan adalah orang-orang rentan.

Kemudian, pelaku tindak pidana ringan, penggunaan narkotika, pelaku tindak pidana tanpa kekerasan dan tindak pidana yang tidak memiliki sifat seksual. "Sehingga pelaku kekerasan seksual seharusnya tidak termasuk sebagai narapidana yang mendapat percepatan pembebasan," ujarnya.

Kemudian Sulistyowati Irianto selaku Guru Besar Antropologi UI menyoroti besarnya jumlah penghuni lapas didominasi oleh perempuan pengguna narkoba yang juga merupakan korban perdagangan orang.

"Kemiskinan dan rendahnya pengetahuan yang dimiliki para perempuan ini kerap kali dimanfaatkan oknum untuk mengedarkan obat terlarang. Ketidaktahuan ini yang sering kali membawa mereka masuk dalam tindak pidana pengguna dan pengedaran obat terlarang," ujar Sulis.

Untuk itu Sulis menegaskan bahwa hukum harus lebih teliti dalam menyidangkan kasus-kasus yang didakwakan terhadap perempuan, penyebab dan latar belakang harus digali berbasis pada pengalaman-pengalaman dan realitas yang melingkupi kehidupan perempuan.  

Terpopuler

Selengkapnya >>

FOLLOW US