• Nasional

Permen KLH Dianggap Walhi Muka Jahat Food Estate

Fadli | Senin, 16/11/2020 07:18 WIB
Permen KLH Dianggap Walhi Muka Jahat Food Estate Kebakaran hutan Amazon (foto: UPI)

Beritakaltara.com - Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyatakan, penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 24 tahun 2024 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate semakin memperjelas muka jahat dominasi korporasi tehadap kawasan hutan Indonesia.

Juga Permen ini menambah varian perizinan baru di kawasan hutan. Laju penebangan hutan alam akan menjadi konsekuensi logis dari permen ini.  Pengecualian kewajiban pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH) dan/atau dana reboisasi (DR) menjadi catatan penting bahwa negara semakin memperlihatkan keberpihakannya pada investasi.

“Lahirnya permen ini semakin menegaskan muka jahat program food estate. Pada prinsipnya, food estate merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan mengandalkan kolaborasi negara dan investasi. Sederhananya, food estate merupakan konsep pertanian tanpa petani,” sebut Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI.

Nur Hidayati menambahkan Peraturan Menteri LHK 24/2020 akan memperbesar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatn kawasan hutan Indonesia.

Saat ini, 33,45 juta hektar atau 26,57% kawasan hutan telah dikapling untuk kepentingan bisnis korporasi. Dalam waktu 20 tahun belakangan, tercatat lebih dari 26 juta hektar kawasan hutan dilepaskan untuk kepentingan bisnis. Penerbitan Permen LHK 24/2020 akan membuka ruang penguasaan investasi melalui skema kolaborasi negara dan korporasi.

Permen ini mengatur dua skema penyediaan kawasan hutan untuk kepentingan food estate, yaitu melalui skema (1) perubahan peruntukan kawasan hutan; dan (2) penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan.

Paska diundangkannya Omnibus Law Cipta Kerja / CILAKA (UU 11/2020), munculnya aturan seperti P.24 tentu akan makin mempercepat eksploitasi lingkungan hidup dan deforestasi di Indonesia.

Dalam konteks ini, dalam siaran persnya Walhi mengatakan,  setidaknya ada 3 alasan mendasar mengapa pelepasan Kawasan hutan untuk food estate justru akan menambah masalah :

Pertama , Justru akan mempercepat laju deforestasi dan merusak lingkungan hidup, dalam prakteknya dan pengalaman selama ini, pelepasan Kawasan hutan seringkali berujung pada kerusakan lingkungan hidup. Praktek tersebut bisa dilihat dari pengalaman selama ini, sejak proyek PLG di Kalimantan, hingga MIFEE di Papua.

Kedua, Meminggirkan rakyat dan berpotensi konflik. Pendekatan korporasi dalam skala luas, terlebih dalam konteks P.24 yang tidak memasukkan skema pengelolaan rakyat, justru memperpanjang ancaman potensi konflik. Seharusnya negara mengembalikan urusan pangan pada petani, terlebih capaian TORA dan PS selama ini tidak signifikan.

Ketiga, Menambah ancaman kerugian negara, dalam catatan kita, proyek-proyek food estate, justru menimbulkan banyak kerugian negara. Dari proyek PLG yang setidaknya menyedot APBN hingga 1,6 Triliun tersebut gagal total untuk menjadikan lumbung pangan bahkan justru sebagian wilayahnya telah berganti menjadi perkebunan sawit hingga saat ini. Ironisnya proyek ini dibangun dengan menggunakan Dana Reboisasi (DR) yang diperuntukkan bagi pemulihan hutan. Hingga catatan BPK atas MoU Kementan-TNI dalam cetak sawah yang meninggalkan banyak catatan, dari pemborosan, ketidakseuaian lokasi, hingga memotong Kawasan lindung.

Dari sisi substansi P. 24setidaknya ada 6 persoalan mendasar :

Pertama, jelas-jelas P.24 memahami bahwa food estate adalah usaha pangan skala luas, sehingga pasti memiliki dampak deforestasi yang signifikan,

Kedua, Argumentasi yang dimasukkan dalam bagian “menimbang” yang mengaitkannya dengan pandemic covid 19 tidak tepat. sentralisasi pengelolaan pangan tentu akan menyisakan problem distribusi yang akan memperbesar biaya dalam rantai pasok, harusnya persoalan pangan dikembalikan pada petani, tidak disentralisasi, dan harus berbasis diversifikasi pangan. Hal tersebut tentu tidak mungkin dilakukan dengan pendekatan skala luas.

Ketiga, ”Pernyataan komitmen” ijin lingkungan dijadikan dasar mengeluarkan KHKP (Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan) tidak tepat, menjadi tidak logis jika “pernyataan komitmen” dijadikan dasar, sementara alih fungsi Kawasan hutan langsung dilakukan.

Keempat, KLHS Cepat tidak berdasar. istilah KLHS cepat beberapa kali muncul bukan hanya pada proyek food estate tetapi juga pada proyek IKN. Penggunaan KLHS cepat tidak memiliki dasar legal yang cukup, serta rentan menghasilkan kajian yang tidak akurat.

Kelima, Skema perubahan peruntukan kawasan hutan dilakukan di kawasan hutan dengan fungsi produksi yang dapat dikonversi. Sedangkan, hak pengelolaan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP) dilakukan di kawasan hutan fungsi produksi dan lindung. Khusus untuk KHKP dikedokkan dengan program perhutanan sosial dan tanah objek reforma agraria* (Pasal 20 huruf c). KHKP diberi durasi penguasaan ruang paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang (Pasal 31). 

Keenam, Hutan-hutan alam yang ditebang pun diberi kemungkinan insentif tidak membayar kewajiban pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH) dan/atau dana reboisasi* (DR) (Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (3)) 

Terpopuler

Selengkapnya >>

FOLLOW US