• Nasional

Tidak Hanya Nikah Muda, Angka Stunting Sulawesi Barat Masih Tinggi

Asrul | Kamis, 08/07/2021 08:09 WIB
Tidak Hanya Nikah Muda, Angka Stunting Sulawesi Barat Masih Tinggi Indonesia menempati posisi kelima di dunia untuk masalah stunting (Foto: Ilustrasi/The Asian Parents)

Mamuju, beritakaltara.com - Angka prevalensi stunting Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) hingga saat ini masih di atas rata-rata nasional yakni sekitar 40.38 persen, hanya lebih baik dari Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kemudian angka kematian bayi tahun 2019 mencapai 223 per seribu kelahiran hidup, tahun 2020 naik menjadi 292, sementara angka kematian ibu memang mengalami penurunan. Selain itu, persoalan lain di Sulawesi Barat yakni terkait pernikahan usia muda yang masih cukup tinggi.

Hal itu disampaikan Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Sulawesi Barat Nuryamin pada Webinar 100 Profesor Indonesia Bicara Stunting, Perspektif Gizi dan Pendidikan, Rabu (7/7).

Seminar 100 Profesor Bicara Stunting dilaksanakan secara virtual diselenggarakan mulai 5-8 Juli 2021. Pada hari kedua 7 Juli 2021 dilaksanakan oleh 7 Kantor Perwakilan BKKBN Provinsi yakni Maluku Utara, Maluku, Papua, Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat dan Kepulauan Riau.

Gufron Darma Dirawan, yang juga Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat menjelaskan, stunting merupakan bagian dari berbagai persoalan multi sektor. Kalau bicara stunting tentunya juga tidak terlepas dari sejarah.

"Pitu Ba`bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu sebagai sebuah konfederasi yang berada di daerah pesisir dengan panjang pantai lebih dari 600 km, dengan kondisi seperti itu seharusnya Sulbar tidak ada stunting," jelas Gufron Darma.

Menurutnya karena Sulawesi Barat berada di daerah pesisir seharusnya memiliki pola hidup dan budaya yang terbuka serta memiliki keanekaragaman hayati yang banyak dan bisa dimanfaatkan. "Dahulu ikan menjadi hal utama yang dikonsumsi oleh masyarakat Sulawesi Barat namun sekarang orang lebih banyak beralih pada makanan instan seperti mi," ujarnya.

"Perlu adanya perubahan pola pikir yang akhirnya bisa merubah pola kehidupan. Kemudian merubah pola pembelajaran disekolah dengan memotivasi guru merubah proses pembelajaran yang dapat meningkatkan partisipasi sekolah anak, tujuannya agar anak bisa lebih fokus sekolah sampai jenjang perguruan tinggi sehingga pernikahan dini bisa dicegah," tambahnya.

Ida Parwati, dari Departemen Patologi Klinik RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung menjelaskan, stunting adalah masalah Gizi Intergenerasi, calon ibu dengan anemia berpotensi besar melahirkan bayi stunting. Termasuk calon ibu yang tidak merubah pola makannya saat hamil.

"Faktor sosial budaya yang diturunakan antar generasi seperti kemiskinan, kondisi lingkungan yang tidak mendukung membuat makin sulit diintervensi," jelas Ida.

Lebih lanjut menurut  Ida Parwati kekurangan Vitamin D pada bayi dan ibu hamil menjadi salah satu penyebab stunting, padahal sumber Vitamin berlimpah seperti sinar matahari dan Ikan. Kurangnya vitamin D sehingga proses penyerapan fosfor dan kalium terganggu yang bisa berdampak pada proses pertumbuhan akibatnya terjadi stunting.

Sementara itu Agus Riyanto, Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto menyampaikan, [emenuhan Gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan merupakan hal yang sangat penting selain juga sanitasi lingkungan.

"Asupan protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral yang sumbernya bisa mempertimbangkan sumberdaya lokal, daya beli dan budaya setempat," ujar Agus.

Agus juga menyampaikan sebenarnya beras juga sebagai sumber protein. Namun yang terjadi saat ini beras yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah beras yang putih bersih.

Beras yang beredar dimasyarakat sudah melalui tahapan proses dari gabah pecah kulit hingga melalui proses sosok sehingga kandungannya seperti protein dan sebagainya sudah turun. Diperparah juga dengan kebiasaan mencuci beras sampai air benar-benar bersih.

Terpopuler

Selengkapnya >>

FOLLOW US